Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. RUU Pertanahan saat ini pembahasannya sedang taraf finalisasi bersama 7 Kementerian sebelum disahkan dalam sidang paripurna DPR bulan September 2019. Diskusi RUU Pertanahan diselenggarakan di University Club UGM dalam rangka ATR/BPN Goes to Campus, Senin (2/8).
Wakil Rektor UGM Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset, Prof. Dr. Ir. Bambang Agus Kironoto, pada kesempatan tersebut menyampaikan mengatakan bahwa UGM memiliki histori memberikan masukan saat pembahasan UU Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. “Secara historis pada 6 dasawarsa lalu UGM telah memberikan masukan bagi pembahasan UUPA. Jadi bila sekarang ada pembahasan mengenai RUU Pertanahan. Tentu kami siap mengawalnya seperti yang dahulu juga kami lakukan,” ungkapnya.
RUU Pertanahan ini dimaksudkan untuk melengkapi UU Pokok Agraria Tahun 1960. Kemunculan UU ini nantinya diharapkan memberikan kepastian hukum soal pertanahan dan kawasan, keterbukaan investasi serta adanya sistem informasi pertanahan terpadu. Namun demikian, RUU mendapat masukan dan kritikan dari pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum UGM yang menilai RUU ini belum berpihak pada masyarakat yang lemah, seperti petani, perempuan, dan masyarakat adat tapi berpihak ke pemilik modal yang diberikan berbagai kemudahan. “RUU ini belum berpihak pada masyarakat yang lemah posisi tawarnya,” kata Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, S.H. Beliau mencontohkan dalam RUU ini tidak disebutkan hak bangsa seperti yang tertera dalam pasal 1 UU Pokok Agraria. Kehadiran RUU ini seharusnya meminimalkan disharmoni UU yang sudah ada dan tidak melanggar serta tidak tidak menghilangkan pasal di RUU Pokok Agraria. “Tujuannya kan untuk melengkapi dan mencapai keadilan agraria, pemerataan akses dan kemanfaatan. Di RUU ini tidak mengatur hak bangsa meski negara punya hak mengatur dan mengolah, namun bertanggung jawab untuk bangsa. RUU ini juga bisa membuka peluang korupsi, bahkan kewenangan pelaksanaan tidak menyebut oleh siapa. Artinya objek yang diatur ada, dan subjek yang mengatur kok nggak ada”, terangnya.
Sementara itu, pakar Agraria UGM lainnya, Prof. Dr. Nur Hasan Ismail, menyebutkan pengaturan hak tanah ulayat bersifat ambigu karena tanah ulayat diakui, namun harus dilepas menjadi tanah negara. “Diakui haknya, namun salah satu ayat dihapus dengan cara setiap bagian hak ulayat diberikan perseroangan dan badan hukum dilepaskan menjadi tanah negara, dengan demikian tanah itu tidak ada lagi ini. Sangat ambigu, satu sisi diakui, namun pelan-pelan dihapus,”paparnya .
Herman Khaeron, Ketua Komisi II sekaligus ketua panja RUU Pertanahan, mengatakan pembahasan RUU ini dilakukan secara maraton serta menghimpun masukan sivitas akademika kampus agar bisa mendapatkan manfaat lebih besar dari RUU ini.
Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Himawan Arif, mengatakan hanya tertinggal 2 item saja yang akan dibahas dan didiskusikan lagi sebelum disahkan menjelang akhir September ini. “Presiden meminta agar sebelum periode DPR ini selesai, RUU sudah disahkan,” katanya.
Ia menjelaskan RUU ini disusun untuk memperkuat UUPA dan mengatasi berbagai permasalahan pertanahan, seperti persoalan ketimpangan lahan, sengketa pertanahan, konflik perbatasan antara kawasan hutan dan non hutan, kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi.