Universitas Gadjah Mada menjalin kerja sama dengan Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD). Kerja sama tersebut ditandai dengan adanya penandatanganan Perjanjian Kerja Sama di bidang pengembangan sumber daya manusia dan bidang pelestarian budaya Jawa yang dilakukan Rabu (18/4) di ruang auditorium gedung R. Soegondo Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Dukungan kongkrit yang diberikan oleh YAD adalah dalam bentuk pemberian beasiswa bagi mahasiswa dan dosen. Hal itu dikemukakan dalam penandatanganan kerja sama yang dilakukan oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., dengan Ketua YAD, Hashim Djojohadikusumo tersebut.
Hashim menyebutkan untuk kerja sama kali ini pihaknya menyalurkan bantuan hingga puluhan miliar. Bantuan yang diberikan dalam bidang pengembangan budaya tersebut sebagai bentuk kontribusi YAD dalam upaya melestarikan budaya jawa. “Untuk menindaklanjuti kerja sama ini kita siapkan puluhan miliar,” ujarnya.
Dekan FIB UGM, Dr. Wening Udasmoro, mengatakan melalui kerja sama ini pihak YAD akan memberikan beasiswa untuk mahasiswa jenjang sarjana dan magister dalam bidang sastra Jawa. Kepedulian YAD, menurut Dekan, dikarenakan mulai menurunnya peminat calon mahasiswa untuk prodi sastra Jawa. “Sudah sangat sedikit yang ingin belajar bahasa Jawa,” kata Dekan.
Apabila mahasiswa Prodi Sastra Jawa mendapat kesempatan mendapat beasiswa maka dosennya pun akan diberi kesempatan melanjutkan pendidikan S3 di luar negeri, “Para dosen diberikan beasiswa studi lanjut sekaligus tuition fee dan biaya riset lapangan,” katanya.
Selain melaksanakan kerja sama, Hashim juga menyampaikan kuliah umum yang bertajuk pluralisme dan pembangunan karakter bangsa di hadapan ratusan mahasiswa. Dalam kuliah umum itu, Hashim mengatakan bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. “Kita di Indonesia dapat anugerah berupa Pancasila sehingga bisa bersatu dan tetap utuh sebagai sebuah bangsa,” katanya.
Menurutnya, pendiri bangsa melahirkan Pancasila untuk alat pemersatu dan juga bersepakat memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ia membandingkan negara Uni Soviet dan Yugoslavia yang pecah menjadi beberapa negara karena tidak memiliki alat pemersatu. “Bukan masalah agama yang jadi unsur pemecah sebuah bangsa, namun soal budaya dan bahasa,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., “Dengan keberagaman budaya yang kita miliki, pluralisme memang menjadi bagian yang tak bisa lepas dari identitas kita sebagai Bangsa Indonesia,” ungkapnya.