Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pokja Industri Strategis dan Teknologi Tinggi (ISTT) Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) bekerja sama dalam penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Diskusi Penulisan Road Map Industri Strategis dan Teknologi Tinggi 2045 melalui Pengembangan SDM Pendidikan Tinggi”.
FGD tersebut menghadirkan beberapa pakar dari UGM, diantaranya peneliti bidang perundingan-perundingan serta kesepakatan perdagangan multilateral dan bilateral, Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., peneliti bidang penyiapan SDM Indonesia menuju society 5.0, Drs. Ratminto, M.Pol. ADMIN, peneliti pengembangan teknologi alat kesehatan Indonesia, Susi Ari Kristina, S.Farm., M.Kes., Apt., peneliti nanoteknologi biokeramik, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D., peneliti stem cell, dr Rudy Ghazali Malueka., Ph.D., Sp.S, peneliti obat herbal dari keanekaragaman hayati, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, Apt., serta peneliti bidang energi, Deendarlianto, S.T., M.Eng., Alexander Agung, S.T., M.Sc., Ahmad Agus Setiawan, S.T., M.Sc., Ph.D., Sugiyono, S.T., M.T., Ph.D.
Prof. Dr. Subagus Wahyuono, Apt. dalam paparannya menyampaikan bahwa penguasaan SDM bangsa Indonesia di bidang teknologi kesehatan dan obat-obatan terbilang masih sangat rendah. Tidak heran jika impor bahan obat dan alat kesehatan mencapai 97,2 persen. Pemerintah diminta mendorong pengembangan industri strategis di bidang farmasi dan alat kesehatan dalam 25 tahun mendatang melalui pengembangan SDM dan penyiapan regulasi untuk mendukung kemandirian bangsa di bidang kesehatan.
Sementara itu , drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D. mengatakan pengembangan nanoteknologi untuk kesehatan perlu dikembangkan bersama-sama. Menurutnya, UGM sudah mulai menghilirkan beberapa produk kesehatan dari produk skala herbal bahkan sudah menerapkan nanobiokeramik sudah dipasarkan dan sudah mendapatkan daftar e-catalog. “Setidaknya produk-produk ini bisa menggantikan beberapa produk impor dengan standar SNI,” ungkapnya. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa saat ini UGM telah mendirikan pabrik untuk memproduksi obat-obatan dan alat kesehatan. Hal ini dikarenakan sulitnya mengakses produsen obat di dalam negeri yang lebih banyak memprioritaskan obat dan alat kesehatan dari luar. Disamping itu juga tantangan untuk memproduksi sebuah produk kesehatan membutuhkan waktu rata-rata 14 tahun dengan biaya yang tidak sedikit dan kemungkinan besar bisa gagal. Namun begitu, kendala tersebut bisa diatasi melalui penyiapan SDM yang handal dan terampil serta perbaikan regulasi dan peningkatan standardisasi produk.
Dalam hal lain, pakar pengobatan stem cell UGM, dr. Rusdy Ghazali Malueka, Ph.D., Sp.S., mengatakan pengobatan melalui stem cell atau sel punca berpotensi untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif. Namun demikian, pengembangan teknologi pengobatan ini masih terus dikembangkan. Menurutnya, melalui teknologi sel punca ini nantinya bisa mengobati penyakit jantung, diabetes dan kanker serta kasus patah tulang.“Di UGM masih tahap inovasi sementara untuk produksi kita masih kerja sama dengan PT Kalbe Farma, target kita 2020 sudah bisa produksi sendiri,” katanya.
FGD berlangsung selama dua hari, 11-12 April, bertempat di Ruang Multimedia 1 UGM dan Grand Aston Hotel Yogyakarta.